Endapan sedimen (sedimentary deposit) adalah tubuh material padat yang terakumulasi di permukaan bumi atau di dekat permukaan bumi, pada kondisi tekanan dan temperatur yang rendah. Sedimen umumnya (namun tidak selalu) diendapkan dari fluida dimana material penyusun sedimen itu sebelumnya berada, baik sebagai larutan maupun sebagai suspensi. Definisi ini sebenarnya tidak dapat diterapkan untuk semua jenis batuan sedimen karena ada beberapa jenis endapan yang telah disepakati oleh para ahli sebagai endapan sedimen: (1) diendapkan dari udara sebagai benda padat di bawah temperatur yang relatif tinggi, misalnya material fragmental yang dilepaskan dari gunungapi; (2) diendapkan di bawah tekanan yang relatif tinggi, misalnya endapan lantai laut-dalam.
Petrologi sedimen (sedimentary petrology) adalah cabang petrologi yang membahas batuan sedimen, terutama pemerian-nya. Di Amerika Serikat, istilah sedimentasi (sedimentation) umumnya digunakan untuk menamakan ilmu yang mempelajari proses pengakumulasian sedimen, khususnya endapan yang asalnya merupakan partikel-partikel padat dalam suatu fluida. Pada 1932, Wadell mengusulkan istilah sedimentologi (sedimentology) untuk menamakan ilmu yang mempelajari segala aspek sedimen dan batuan sedimen. Sedimentologi dipandang memiliki ruang lingkup yang lebih luas daripada petrologi sedimen karena petrologi sedimen biasanya terbatas pada studi laboratorium, khususnya studi sayatan tipis, sedangkan sedimentologi meliputi studi lapangan dan laboratorium (Vatan, 1954:3-8). Pemakaian istilah sedimentologi untuk menamakan ilmu yang mempelajari semua aspek sedimen dan batuan sedimen disepakati oleh para ahli sedimentologi Eropa, bahkan akhirnya dikukuhkan sebagai istilah resmi secara internasional bersamaan dengan didirikannya International Association of Sedimentologists pada 1946.
Batas pemisah antara sedimentologi dengan stratigrafi sebenarnya tidak jelas. Stratigrafi secara luas diartikan sebagai ilmu yang membahas tentang segala aspek strata, termasuk studi tekstur, struktur, dan komposisi. Walau demikian, dalam prakteknya, para ahli stratigrafi lebih banyak menujukan perhatiannya pada masalah penentuan urut-urutan stratigrafi dan penyusunan kolom geologi. Jadi, masalah sentral dalam stratigrafi adalah penentuan urut-urutan batuan dan waktu yang dicerminkan oleh berbagai penampang lokal, pengkorelasian penampang-penampang lokal, dan penyusunan suatu penampang yang dapat digunakan secara sahih sebagai wakil dari tatanan stratigrafi dunia. Walau demikian, pengukuran ketebalan dan pemerian litologi umum (gross lithology) masih dipandang sebagai tugas para ahli stratigrafi. Karena itu, tidak mengherankan apabila banyak pengetahuan tentang ciri khas endapan sedimen—misalnya perlapisan, perlapisan silang-siur, dan ciri-ciri lain yang sering terlihat dalam singkapan—diperoleh dari hasil penelitian stratigrafi.
Pemelajaran batuan sedimen tidak dapat dipisahkan dari disiplin ilmu lain. Banyak diantara disiplin ilmu itu—misalnya mineralogi, geokimia, dan geologi kelautan—memberikan sumbangan pemikiran yang berharga untuk memperoleh pengertian yang lebih mendalam mengenai endapan sedimen. Sedimentologi sendiri banyak memberikan sumbangan pemikiran yang berharga dalam penelitian stratigrafi dan geologi ekonomi (gambar 1-1 dan 1-2).
PENGERTIAN BANJIR
Banjir merupakan fenomena alam yang biasa terjadi di suatu kawasan yang banyak dialiri oleh aliran sungai. Secara sederhana banjir dapat didefinisikan sebagainya hadirnya air di suatu kawasan luas sehingga menutupi permukaan bumi kawasan tersebut.
Dalam cakupan pembicaraan yang luas, kita bisa melihat banjir sebagai suatu bagian dari siklus hidrologi, yaitu pada bagian air di permukaan Bumi yang bergerak ke laut. Dalam siklus hidrologi kita dapat melihat bahwa volume air yang mengalir di permukaan Bumi dominan ditentukan oleh tingkat curah hujan, dan tingkat peresapan air ke dalam tanah.
Aliran Permukaan = Curah Hujan – (Resapan ke dalam tanah + Penguapan ke udara)
Air hujan sampai di permukaan Bumi dan mengalir di permukaan Bumi, bergerak menuju ke laut dengan membentuk alur-alur sungai. Alur-alur sungai ini di mulai di daerah yang tertinggi di suatu kawasan, bisa daerah pegunungan, gunung atau perbukitan, dan berakhir di tepi pantai ketika aliran air masuk ke laut.
Secara sederhana, segmen aliran sungai itu dapat kita bedakan menjadi daerah hulu, tengah dan hilir.
- Daerah hulu: terdapat di daerah pegunungan, gunung atau perbukitan. Lembah sungai sempit dan potongan melintangnya berbentuk huruf “V”. Di dalam alur sungai banyak batu yang berukuran besar (bongkah) dari runtuhan tebing, dan aliran air sungai mengalir di sela-sela batu-batu tersebut. Air sungai relatif sedikit. Tebing sungai sangat tinggi. Terjadi erosi pada arah vertikal yang dominan oleh aliran air sungai.
- Daerah tengah: umumnya merupakan daerah kaki pegunungan, kaki gunung atau kaki bukit. Alur sungai melebar dan potongan melintangnya berbentuk huruf “U”. Tebing sungai tinggi. Terjadi erosi pada arah hizontal, mengerosi batuan induk. Dasar alur sungai melebar, dan di dasar alur sungai terdapat endapan sungai yang berukuran butir kasar. Bila debit air meningkat, aliran air dapat naik dan menutupi endapan sungai yang di dalam alur, tetapi air sungai tidak melewati tebing sungai dan keluar dari alur sungai.
- Daerah hilir: umumnya merupakan daerah dataran. Alur sungai lebar dan bisa sangat lebar dengan tebing sungai yang relatif sangat rendah dibandingkan lebar alur. Alur sungai dapat berkelok-kelok seperti huruf “S” yang dikenal sebagai “meander”. Di kiri dan kanan alur terdapat dataran yang secara teratur akan tergenang oleh air sungai yang meluap, sehingga dikenal sebagai “dataran banjir”. Di segmen ini terjadi pengendapan di kiri-dan kanan alur sungai pada saat banjir yang menghasilkan dataran banjir. Terjadi erosi horizontal yang mengerosi endapan sungai itu sendiri yang diendapkan sebelumnya.
Dari karakter segmen-segmen aliran sungai itu, maka dapat dikatakan bahwa :
- Banjir merupakan bagian proses pembentukan daratan oleh aliran sungai. Dengan banjir, sedimen diendapkan di atas daratan. Bila muatan sedimen sangat banyak, maka pembentukan daratan juga terjadi di laut di depan muara sungai yang dikenal sebagai “delta sungai.”
- Banjir yang meluas hanya terjadi di daerah hilir dari suatu aliran dan melanda dataran di kiri dan kanan aliran sungai. Di daerah tengah, banjir hanya terjadi di dalam alur sungai.
Bagaimana manusia bisa kena banjir?
Untuk banjir yang secara langsung berkaitan dengan aliran sungai, secara sederhana dapat kita katakan bahwa manusia dapat terkena banjir karena:
- Tinggal di dataran banjir. Secara alamiah, dataran banjir memang tidak setiap dilanda banjir. Ada banjir tahunan, 5 tahunan, 10 tahunan, 25 tahunan, 50 tahunan atau bahkan 100 tahunan. Interval tersebut tidak mesti sama untuk setiap sungai, dan hanya dapat diketahui bila dilakukan pengamatan jangka panjang. Hal ini yang kadang tidak disadari oleh manusia ketika memilih lokasi pemukiman. Apalagi bila pendatang yang tidak mengenal karakter suatu daerah di sekitar aliranb sungai tertentu.
- Tinggal di dalam alur sungai di segmen tengah. Karena banjir kadang-kadang terjadi, maka kesalahan ini juga sering tidak disadari.
Di berbagai daerah di Indonesia, terdapat kearifan lokal yang berkaitan dengan banjir ini. Mereka yang tinggal di daerah yang rutin dilanda banjir, membangun rumah-rumah mereka dengan konstruksi rumah berkaki atau rumah panggung.
Mengapa manusia yang salah?
Karena tanpa kehadiran manusiapun banjir yang merupakan proses alam itu pasti terjadi. Menurut ilmu geologi, banjir seperti itu telah lama berlangsung, yaitu sejak air terdia melimpah di Bumi, jauh sebelum manusia hadir. Banjir itu merupakan suatu cara atau mekanisme yang dengan cara itu Tuhan membangun dataran yang subur untuk kepentingan manusia yang datang kemudian. Cara Tuhan membangun delta-delta sungai yang besar yang dari dalamnya sekarang manusia mendapatkan minyak.
Jadi, agar tidak terkena banjir, sebelum membangun rumah atau pemukiman, kita harus mengenal terlebih dahulu karakter dari tempat yang akan kita pilih sebagai tempat tinggal. Tidak asal bangun do sembarangan tempat.
PENANGGULANGAN BANJIR
Secara filosofis, ada tiga metode penanggulangan banjir. Pertama, memindahkan warga dari daerah rawan banjir. Cara ini cukup mahal dan belum tentu warga bersedia pindah, walau setiap tahun rumahnya terendam banjir. Kedua, memindahkan banjir keluar dari warga. Cara ini sangat mahal, tetapi sedang populer dilakukan para insinyur banjir, yaitu normalisasi sungai, mengeruk endapan lumpur, menyodet-nyodet sungai. Faktanya banjir masih terus akrab melanda permukiman warga. Ketiga, hidup akrab bersama banjir. Cara ini paling murah dan kehidupan sehari-hari warga menjadi aman walau banjir datang, yaitu dengan membangun rumah-rumah panggung setinggi di atas muka air banjir. Secara normatif, ada dua metode penanggulangan banjir. Pertama, metode struktur, yaitu dengan konstruksi teknik sipil, antara lain membangun waduk di hulu, kolam penampungan banjir di hilir, tanggul banjir sepanjang tepi sungai, sodetan, pengerukan dan pelebaran alur sungai, sistem polder, serta pemangkasan penghalang aliran.
Anggaran tak seimbang Dalam pertemuan-pertemuan antarpemangku kepentingan (stakeholder) tentang penanggulangan banjir, telah ada kesepakatan politik dari pemerintah, yaitu akan melaksanakan penanggulangan banjir secara hibrida, dengan melaksanakan gabungan metode struktur dan non-struktur secara simultan. Bahkan, telah dibuat dalam perencanaan jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang. Namun, dalam implementasinya, penanggulangan banjir yang dilakukan pemerintah masih sangat sektoral, alokasi anggaran antarsektor tidak seimbang. Anggaran penanggulangan banjir metode struktur alias konstruksi teknik sipil lebih besar dibandingkan dengan anggaran metode nonstruktur yang lebih berbasis masyarakat.
Padahal, penanggulangan banjir dengan metode nonstruktur berbasis masyarakat tidak kalah pentingnya. Pertama, berupa manajemen di hilir di daerah rawan banjir, antara lain pembuatan peta banjir, membangun sistem peringatan dini bencana banjir, sosialisasi sistem evakuasi banjir, kelembagaan penanganan banjir, rekonstruksi rumah akrab banjir, peningkatan kapasitas dan partisipasi masyarakat dalam penanggulangan banjir, serta kemungkinan asuransi bencana banjir.
Kedua, berupa manajemen di hulu daerah aliran sungai, antara lain pengedalian erosi, pengendalian perizinan pemanfaatan lahan, tidak membuang sampah dan limbah ke sungai, kelembagaan konservasi, pengamanan kawasan lindung, peningkatan kapasitas dan partisipasi masyarakat dalam kegiatan konservasi.
PENYEBAB BANJIR
Pembuangan sampah yang sembarangan, baik ke aliran sungai mapupun gotong royong,
Pembuatan saluran air yang tidak memenuhi syarat,
Penebangan hutan secara liar tanpa disertai reboisasi,
Pendangkalan sungai,
Pembuatan tanggul yang kurang baik,
Air laut, sungai, atau danau yang meluap dan menggenangi daratan.
Ilegal Loging (Penebangan hutan liar)
Bertumpuknya sampah pada saluran air, sehingga terjadi penyumbatan pada saluran air.
Kurangnya kesadaran masyarakat untuk melakukan penanaman kembali pada daerah / hutan hutan yang baru di tebangi.
Tidak adanya lagi tanah resapan untuk digunakan air sebagai tempat baginya beristirahat dikala hujan turun. tidak ada lagi lahan hijau sebagai tempat resapan air tanah. akibatnya, ketika hujan tiba, tanah menjadi tergerus oleh air dan kemudian air terus meluncur tanpa adanya penghalang alami yang kemudian menyebabkan banjir. dan masih banyak lagi penyebab-penyebab banjir yang lainya.
Faktor alam penyebab terjadinya banjir adalah:
Badai juga dapat menyebabkan banjir melalui beberapa cara, di antaranya melalui ombak besar yang tingginya bisa mencapai 8 meter. Selain itu badai juga adanya presipitasi yang dikaitkan dengan peristiwa badai. Mata badai mempunyai tekanan yang sangat rendah, jadi ketinggian laut dapat naik beberapa meter pada mata guntur. Banjir pesisir seperti ini sering terjadi di Bangladesh.
Gempa bumi dasar laut maupun letusan pulau gunung berapi yang membentuk kawah (seperti Thera atau Krakatau) dapat memicu terjadinya gelombang besar yang disebut tsunami yang menyebabkan banjir pada daerah pesisir pantai
DAMPAK BANJIR
Dampak bencana yang diakibatkan oleh banjir pada kehidupan masyarakat di antaranya adalah:
1. Gangguan keselamatan (Mis: cedera, kematian)
2. Kesehatan (mis: mortalitas, morbiditas, gangguan sistem pelayanan kesehatan)
3. Kesejahteraan masyarakat (mis: malnutrisi)
4. Ekologi (hilangnya habitat, berkurangnya keragaman spesies)
5. Isu keuangan (kehilangan properti, jeratan hutang), dsb.
Kondisi ini akan semakin diperparah dengan munculnya wabah berbasiskan banjir seperti leptospirosis, diare (termasuk cholera dan disentri), infeksi saluran nafas, hepatitis A dan E, demam tiphoid, dan penyakit lainnya yang berbasiskan vektor. Banjir juga biasanya menghancurkan sarana dan prasarana transportasi sehingga menyebabkan suplai makanan terhambat. Akibatnya, pengungsi korban banjir terancam kelaparan.
Faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Gangguan Kesehatan Akibat Banjir
Model Gordon menggambarkan terjadinya penyakit pada masyarakat. Model ini dinamakan sesuai dengan nama pencetusnya yang juga seorang dokter, John Gordon. Ia memodelkan/menggambarkan terjadinya penyakit sebagai adanya sebatang pengungkit, yang mempunyai titik tumpu ditengah-tengahnya. Pada kedua ujung batang tadi terdapat pemberat, yakni A, H dan tumpuannya adalah L. Dalam model ini, A, H dan L dianggap sebagai tiga elemen utama yang berperan dalam interaksi ini, sehingga terjadi keadaan sehat atau sakit
A = Agen/penyebab penyakit,
H = Host/pejamu/populasi berisiko tinggi, dan
L = Lingkungan
Interaksi di antara tiga elemen tadi terlaksana karena adanya faktor penentu pada setiap elemen tadi. Faktor penentu yang terpenting antara lain adalah:
1) Agent : Jumlahnya bila hidup, konsentrasinya bila tidak hidup, infektivitas / patogenitas / virulensi bila hidup, reaktivitas bila tidak hidup.
2) Host : Derajat kepekaan, imunitas terhadap A hidup, toleransi terhadap A mati, status gizi, pengetahuan, pendidikan, perilaku dan lain-lain.
3) Lingkungan : Kualitas dan kuantitas berbagai kompatemen lingkungan, yang utamanya berperan sebagai faktor yang menentukan terjadinya atau tidak tidak terjadinya transmisi agent (A) ke host (H). Kompartemen lingkungan dapat berupa udara, tanah, air, makanan, perilaku, dan higiene perorangan, kuantitas dan kualitas serangga vekor / penyebar penyakit.(Soemirat: 2000)
Dari dua gambar model tersebut maka kemungkinan terjadinya gangguan kesehatan akibat banjir dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Faktor perubahan lingkungan (yaitu banjir) memungkinkan munculnya dan berkembangnya agen penyakit. Misalnya saja leptospirosis. Leptospirosis adalah penyakit yang disebabkan oleh Leptospira interrogans. Bakteri ini bisa ditularkan melalui kontak pada kulit, khususnya jika kulit terluka, atau kontak selaput lendir dengan air, tanah basah atau tanaman yang terkontaminasi dengan urin hewan yang terinfeksi, berenang, luka yang terjadi karena kecelakaan kerja; kontak langsung dengan urin atau jaringan tubuh hewan yang terinfeksi; kadang kadang melalui makanan yang terkontaminasi dengan urin dari tikus yang terinfeksi; dan kadang kadang melalui terhirupnya droplet dari cairan yang terkontaminasi (Kandun, ed: 2000, hlm. 309). Saat banjir, maka daratan akan tertutupi oleh air. Keadaan seperti ini sangat memungkinkan terjadinya kontaminasi air banjir dengan urin hewan yang terinfeksi. Akibatnya, karena saat banjir lingkungan di sekitar manusia adalah air maka hal tersebut membuat manusia berada dalam titik rentan untuk terkontaminasi.
b. Faktor perubahan lingkungan (yaitu banjir) juga memungkinkan menurunnya pertahanan host. Kekurangan makanan, berada dalam suhu yang tidak nyaman, kelembaban tinggi, sanitasi yang tidak memadai, banyaknya populasi pengungsi di tempat pengungsian, dapat menaikkan kerentanan host untuk menjadi sakit. Pada kondisi ini manusia terancam penyakit seperti tuberculosis, campak, skabies, hipo dan hipertermia, dan sebagainya (Perrin: 2001, hlm.112-113). Selain itu, efek banjir jangka panjang juga dimungkinkan dapat mempengaruhi kesehatan psikologis korban yang risikonya lebih besar dari kesakitan atau cedera fisik biasa. Untuk sebagian besar orang, trauma dapat terus berlanjut bahkan hingga air surut. Perbaikan pasca banjir seperti melakukan perbaikan properti yang rusak, bersih-bersih rumah, dan mengajukan klaim asuransi dapat menghadirkan stress tersendiri (Ohl:2000, 1167). Keadaan seseorang yang dipenuhi stress, membuat seseorang senantiasa merasa khawatir, cemas, gelisah, dan tidak mampu menguasai dirinya. Hal tersebut bisa mengantar seseorang pada gangguan kesehatan atau bahkan kematian prematur (Wilkinson, ed: 2003, hlm. 12).
Penyakit yang Mungkin Meningkat Saat Banjir
‘
Seperti yang telah diterangkan pada penjelasan sebelumnya, ada beberapa penyakit yang dimungkinkan meningkat saat banjir. Beberapa penyakit tersebut di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Leptospirosis (sudah cukup dijelaskan di pembahasan sebelumnya)
2. Tetanus
Tetanus adalah penyakit yang disebabkan oleh Clostridium tetani. Dalam keadaan banjir, spora tetanus masuk kedalam tubuh biasanya melalui luka tusuk yang tercemar dengan tanah, debu jalanan atau tinja hewan dan manusia yang sudah tercemari spora C. tetani. (Kandun, ed: 2000, hlm. 515). Akan tetapi, tetanus bisa saja tidak menjadi wabah saat banjir jika program imunisasi sukses dilaksanakan dengan cakupan yang baik.
3. Diare
Saat banjir dapat dikatakan semua sumber air tanah akan tercemar dengan total choliform dari septic tank atau dari sumber lainnya. Dalam keadaan darurat air dengan kualitas yang baik sulit didapatkan. Dengan terbatasnya jumlah air bersih, maka kemungkinan untuk masuknya organisme penyebab diare juga semakin tinggi. Selain kebutuhan untuk minum, air juga dibutuhkan untuk melarutkan sabun guna mendisinfeksi tangan sebelum makan.
4. Poliomyelitis
Sama seperti diare, poliomyelitis juga dapat mengancam kesehatan korban banjir, terutama mereka yang berada di tempat pengungsian. Risikonya terutama terdapat pada faeces. Diketahui bahwa dalam 1 gram faeces terdapat 106 virus poliomyelitis. Selain poliomyelitis, hepatitis A, rotavirus, Vibrio cholerae, Salmonella, dan shigella juga ditemukan dalam jumlah yang sama dalam konsentrasi faeces yang juga sama (Perrin: 2001, hlm. 103).
5. Penyakit berbasis vektor nyamuk dan lalat.
Malaria, dengue, dan demam typhoid juga menjadi ancaman saat terjadi bencana banjir. Banjir tentu identik dengan genangan air. Jika airnya kontak dengan tanah, maka anopheles dapat berkembang biak di sana. Jika genangan air ada di wadah, maka itu adalah tempat yang baik untukAedes, Sp berkembang biak. Sementara kondisi tempat pengungsian yang kumuh dan kurangnya kontrol terhadap penyimpanan makanan memungkinkan lalat untuk menyebarkan organisme patogen yang melekat dalam tubuhnya.
DAERAH-DAERAH BANJIR DI JAKARTA
Badan Meteorologi dan Geofisiki (BMG) pernah melansir daerah-daerah di Indonesia yang harus diwaspadai terkena banjir, termasuk salah satunya adalah DKI Jakarta.Provinsi DKI Jakarta yangmemiliki daerah rawan banjir tingkat tinggi, yakni Cengkareng, Kalideres, dan Grogol Petamburan(Jakarta Barat), Mampang Prapatan, Pasar Minggu, Kebayoran Baru dan Tebet (Jakarta Selatan). Kemudian, Cipayung, Kramat Jati, Makassar dan Ciracas (Jakarta Timur). Sedangkan wilayah Jakarta Utara memiliki potensi rawan banjir menangah, seperti, di Kelapa Gading, Koja, Pademangan, Penjaringan, Sawah Besar dan Tanjung Priok.
Berdasarkan data daerah yang sejak 2003 masuk peta rawan banjir di wilayah DKI Jakarta adalah:
JAKARTA PUSAT
1. Matraman Dalam
2. Kalipasir Kwitang
3. Bunderan HI, Kebon Kacang, Teluk Betung
4. Pejompongan/AL
5. Jatipinggir
6. Mangga Dua
7. Karang Anyar
8. Serdang
9. Gunung Sahari
10. Cempaka Putih
JAKARTA UTARA
11. Kapuk Kamal
12. Kapuk Kamal Sediatmo
13. Pantai Indah Kapuk
14. Kapuk Muara, Teluk Gong, Muara Angke
15. Pluit
16. Pademangan Barat
17. Pademangan Timur
18. Sunter Agung
19. Sunter Jaya
20. Lagoa Buntu
21. Kebon Bawang
22. Warakas
23. Sungai Bambu
24. Papanggo
25. Yos Sudarso
26. Sunter Timur, Kodamar
27. Perum Walikota Jakarta Utara
28. Kelapa Gading
29. Rawa Badak, Tugu, Lagoa
30. Tugu Utara
31. Semper
32. Dewa Ruci, Dewa Kemba
33. Rorotan/Babek ABRI
JAKARTA BARAT
34. Rawa Buaya
35. Duri Kosambi
36. Tegal Alur
37. Kapuk Kedang/Poglar
38. Cengkareng
39. Kembangan Green Garden
40. Meruya
41. Pesing
42. Krendang, Duri Utara
43. Jelambar
44. Tomang Rawa Kepa
45. Jati Pulo
46. Pinangsia
47. Mangga Besar
48. Tanjung Duren
49. Grogol
50. Sukabumi Utara
51. Kelapa Dua
52. Duri Kepa
JAKARTA SELATAN
53. IKPN
54. Pondok Pinang
55. Cireundeu Permai
56. Kebalen, Mampang Prapatan
57. Tegal Parang
58. Petogogan
59. Pondok Karya
60. Damai Jaya
61. Pulo Raya
62. Setiabudi Barat
63. Bukit Duri, Kebayoran Baru, Bidara Cina, Kampung Melayu
64. Pengadegan, Kalibata, Rawa Jati, Gang Arus
65. Cipulir, Ciledug Raya
JAKARTATIMUR
66.ASMI, Perintis
67.Pulo Mas
68. Pulo Nangka
69. Rawa Bunga
70. Kebon Nanas
71. Cipinang Jaya
72. Cipinang Indah, Cipinang Muara, Cipinang Melayu
73. Malaka Selatan, Pondok Kelapa
74. Buluh Perindu, Tegal Amba
75. Halim Perdanakusuma
76. Kramat Jati
77. Kampung Rambutan, Ciracas, Cibubur
78. Ujung Menteng
JAKARTA BANJIR TERBESAR BERDASARKAN TAHUN
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan membangun dam atau tanggul raksasa atau giant seawall di pantai utara Jakarta. Proyek ini dibangun untuk mengatasi banjir di Jakarta yang terjadi sejak zaman kolonial.Terlebih lagi saat ini terjadi peningkatan permukaan air laut dan penurunan permukaan tanah (land subsidence) telah terjadi di sebagian wilayah Jakarta. Makanya, DKI Jakarta merasa pembangunan bendungan raksasa atau giant seawall di pantai utara Jakarta mendesak dan perlu cepat dilakukan.Berdasarkan kajian Jakarta Coastal Defence Strategy (JCDS), sebuah studi persiapan untuk membuat dam raksasa disebutkan banjir di Jakarta yang terjadi sejak masa penjajahan. Banjir pertama terjadi tahun 1621, diikuti tahun berikutnya tahun 1654 dan 1876. Akibat banjir ini pemerintah Belanda tahun 1918 membangun bendungan yakni Bendungan Hilir, Bendungan Jago dan Bendungan Udik.Namun tiga bendungan itu tidak bisa mengatasi banjir, maka Belanda membangun Banjir Kanal Barat (BKB), mulai dari Pintu Air Manggarai sampai Muara Angke pada tahun 1922.Meski sudah dibangun BKB, Jakarta tetap saja banjir pada Januari 1932. Ratusan rumah di kawasan Jalan Sabang dan Thamrin digenangi air.
Di masa pemerintah RI pun banjir besar di Jakarta melanda pada Februari 1976. Jakarta Pusat menjadi lokasi terparah dalam banjir, lebih 200.000 jiwa diungsikan. Setahun kemudian 19 Januari 1977, Jakarta kembali banjir, setidaknya 100.000 jiwa diungsikan.Memasuki tahun 1980-an persoalan banjir terus berlanjut. Januari 1984, sebanyak 291 Rukun Tetangga (RT) di aliran Sungai Grogol terendam. Dampaknya terasa di Jakarta Timur, Barat dan Pusat, jumlah total korban tercatat 8.596 kepala keluarga.Lalu pada 13 Februari 1989, giliran Sungai Ciliwung dan Sungai Pesanggrahan meluap akibat tidak mampu menampung banjir kiriman dari hulu, 4.400 kepala keluarga harus mengungsi. Setelah itu hampir setiap tahun terjadi banjir.Banjir besar kemudian terjadi pada 13 Januari 1997. Hujan deras selama 2 hari menyebabkan 4 kelurahan di Jakarta Timur alibat luapan Sungai Cipinang, 754 rumah, 2640 jiwa terendam air sekitar 80 cm. Selain itu beberapa jalan utama di Jakarta Barat dan Jakarta Pusat pun lumpuh akibat banjir. Banjir pada tahun ini juga menyebabkan sarana telekomunikasi dan listrik mati total.Banjir besar terjadi lagi pada 26 Januari 1999 banjir terjadi lagi di Jakarta, Tangerang, dan Bekasi. Ribuan rumah terendam, 6 korban tewas, 30.000 jiwa mengungsi.Lalu pada 2 -4 Februari 2007 Jakarta dalam kondisi darurat. Banjir menggenangi sekitar 60 persen wilayah Jakarta. Sebanyak 150.000 jiwa mengungsi, 1379 gardu induk terganggu, 420.000 pelanggan listrik terganggu.
By : Edi Wahyudi