Jumat, 29 Juni 2012
Pelaksanaan Salah Satu Hukum Internasional yang Diratifikasi Menjadi Hukum Nasional
PELAKSANAAN SALAH SATU HUKUM INTERNASIONAL YANG
DIRATIFIKASI MENJADI HUKUM NASIONAL
Hukum
internasional lahir sebagai konsekuensi dari adanya perjanjian internasional
yang dibuat oleh masyarakat bangsa-bangsa didunia, baik dalam kapasitas negara,
organisasi bukan negara, dan lainnya. Setiap perjanjian internasional
senantiasa berlaku asas Pacta
Suntservanda. Artinya, setiap negara wajib menaati hasil perjanjian yang
telah disepakati. Hakikat dari perjanjian internasional adalah untuk mendukung
terciptanya kesepakatan tentang prinsip hidup berdampingan secara damai di
antara bangsa-bangsa di dunia. Sementara lahirnya hukum internasional adalah
untuk mengawali semua pihak yang ikut dalam perjanjian tersebut menghormaati
kesepakatan yang telah dibuat.
Negara sebagai
salah satu subjek hukum internasional mempunyai kewajiban etis-normatif untuk
mengimplementasikan perjanjian tersebut dalam bentuk hukum nasional. Hubungan
antara hukum internasional dengan hukum nasional bagaikan dua sisi mata uang.
Hal ini sejalan dengan argumentasi dari Teori Delegasi yang menyatakan bahwa
kaidah-kaidah fungsional hukum internasional mendelegasikan kepada setiap
konstitusi negara, hak-hak untuk menentukan kapan ketentuan-ketentuan traktat
atau konvensi akan berlaku dan bagaimana cara memasukkannya ke dalam hukum
nasional.
Indonesia
sebagai salah satu anggota dari komunitas masyarakat bangsa-bangsa di dunia
juga sangat menghormati hasil-hasil kesepakatan yang dibuat dalam perjanjian
internasional. Setiap keputusan yang diambil oleh masyarakat dunia melalui
perjanjian internasional sebelum diadopsi menjadi hukum nasional akan
diratifikasikan oleh pemerintah dan dewan perwakilan rakyat dengan berpedoman
pada konstitusi (Undang-Undang Dasar 1945), terutama pasal 11 ayat 1 dan 2
sebagaimana telah dikutip di atas.
Dalam sejarah,
indonesia telah meratifikasi hukum internasional menjadi hukum nasional, yaitu
tentang Hukum Laut. Konsep wawasan
nusantara yang tertuang dalam Deklarasi Djuanda tanggal 13 Desember 1957 yang
mengatur tentang batas perairan laut di wilayah Indonesia merupakan agenda yang
dibawah dalam Konvensi Hukum Laut Internasional III yang dilaksanakan pada
bulan November 1982 di Montego Bay, Jamaika. Konvensi yang diselenggarakan oleh
UNCLOS (United Nations Conference on the
law the sea) serta diikuti oleh 119 negara termasuk Indonesia dan dua
organisasi kebangsaan dunia tersebut menghasilkan serta menyepakati batas-batas
wilayah laut suatu negara sebagai berikut :
1. Batas
laut teritorial / laut wilayah. Setiap negara mempunyai kedaulatan atas laut
teritorial yang jaraknya sampai 12 mil diukur dari garis lurus yang ditarik
dari pantai terluar.
2.
Batas
zona bersebelahan sejauh 12 mil di luar batas laut teritorial atau 24 mil dari
pantai.
3.
Batas
zona ekonomi ekslusif (ZEE), yakni wilayah laut sebelah negara pantai yang
batasnya 200 mil dari garis pantai terluar.
4.
Batas
landas benua, yakni wilayah lautan sebuah negara yang lebih dari 200 mil laut.
Hasil Konvensi
Hukum Laut Internasional ini akhirnya diterima oleh Indonesia setelah melalui
proses ratifikasi oleh presiden yang disetujui oleh DPR dan selanjutnya
dijadikan sebagai dasar hukum (hukum nasional) dalam menetapkan, menentukan,
dan mengelola wilayah laut dan semua potensinya yang ada di Indonesia.
Sumber-sumber :
*Hestu Cipto Handoyo,B.2003,
Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan & Hak Asasi Manusia. Yogyakarta:Universitas Atma Jaya
*Buku pendidikan
kewarganegaraan. Hartadi dkk. Jakarta:Penerbit Galaxy Puspa Mega